“Menanti sebuah
keajaiban seperti menanti seorang malaikat
Dan ketika semua nya
sirna hanya ada ketakutan batin…”
(AsryListya)
Aku
berencana untuk mencari sebuah pengalaman. Aku menelusuri kota demi kota hingga
batas ketidak sanggupan . Sendirian..!!!
Ekor mataku tertuju pada sebuah gubuk di dekat hutan
mangrove. Sekiranya berpenghuni. Mencoba untuk ku dekati demi mencari sisi baik
dan buruk dari gubug yang telah ku temui.
“Maaf bung, apa di sana ada yang menempati?” tanyaku
kepada seorang nelayan yang hendak mendekat kearah ku.
“Oh.. disana?? Gubuk itu? Kau tentu memiliki kaki,
berjalan lah ke sana dan cari tau sendiri jawabannya.” Spontan aku tercengang
akan kata-katanya yang miris dan dingin itu.
“Baiklah.”
“Kau.. siapa? Apa
tujuan mu datang ke tempat ini?” kembali kata-kata dingin terlontar dari nelayan
itu.
“Perkenalkan, saya
Trianta, panggil saja saya Danta.” Kata ku sambil mencoba melukiskan segaris
senyuman.
“Danta… Trianta..”
begitulah seterusnya dia menyebut namaku sambil berjalan dan menghilang di
antara pohon-pohon besar. Aku hanya dapat bergumam dan bingung. Tanpa kata terakhir dan tanpa nama
nelayan itu pergi dari hadapan ku.
“Ah.. sudahlah..
lupakan pertemuan tadi.” Gumam ku sambil
melangkah dan mendekati gubuk misterius itu.
***
“Spada..??”
Aku telah berada tepat
di depan gubuk misterius itu. Dan dengan terkekeh aku merapikan lipatan celana
yang telah basah karena pasang nya air.
Terdengar cekukan
kakek-kakek dari dalam gubuk itu, semakin penasaran rasanya dan semakin ingin
segera menemui nya. Tapi, aku hanya bisa mengintip dari luar dan sesekali
mengetuk pintu gubuk itu yang hanya terbuat dari seng-seng bekas.
“Permisi kek? Bisa saya
masuk?” tambah ku .
“Tunggu sebentar.”
Terdengar jawaban dari dalam. Semakin tenang rasanya dan semakin bersemangat.
Menit pun berlalu,
kakek itu tak kunjung membukakan pintu untuk ku, hanya untuk sekedar
mempersilahkan masuk pun tak ada. Aah.. begitu aneh rasanya. Apa kakek itu lupa
atau ?? entahlah…
Sekian menit aku
berdiri tanpa jawaban, panas semakin menyengat dan semakin lama semakin sepi,
hening dan sunyi, aneh nya lagi tak ada seorang pun disana. Apa hanya ada diriku dan kakek itu?
Tak ingin memikirkan apa yang terjadi dan apa yang telah ku alami.
‘Aku rasa aku akan
masuk ke dalam sekarang, apapun yang terjadi.” Gumam ku dalam hati.
“Kek, saya masuk ya?”
kata ku seakan tak menghiraukan apakah ada jawaban atau tidak, apa di ijinkan
ataupun tak di ijinkan.
Terkesiab
saat ku lihat tak ada bagian di dalam gubuk itu, kembali aku mengangkat kaki ku
ke luar. Aneh nya, dari luar gubuk itu terlihat utuh, sedangkan dari dalam
gubuk itu seperti hanya sebuah pembatas. Aku bergumam sendiri, memutar otak sedemikian
rupa, namun hanya ada satu jawaban yang aku dapatkan. Sebuah gubuk misteri.
“Kakek itu.. kemana
kakek itu?”
Ingatan ku tertuju
kepada seorang nelayan yang tadi pagi aku temui, kata-katanya terdengar seperti
sebuah tembakan. Kata-katanya tak dapat ku cerna.
Ku lihat arloji tangan
ku menunjuk kan waktu. “Masih siang, kenapa tak ada orang ya? Apa aku lanjutkan
saja perjalanan ku?” pikirku. “Ah.. tempat ini.. tempat ini menjadi sasaran
buat ku. Semakin terlihat keanehan nya, semakin aku merasa penasaran. Entah
kenapa, tapi di sanalah letak sisi keanehan nya.”
Mangrove.. Gubuk…
Nelayan.. Kakek..
Eraagh..
kenapa semua membingungkan? Mungkin aku harus mencari sesuatu baru di sini.
Orang baru atau mungkin penduduk baru. Menghilangkan segala ketakutan ku,
melenyapkan segala pertanyaan yang sekiranya selalu bermunculan dalam ingatan
ku.
***
Berjalan
di antara hiruk pikuk suara angin yang saling bersahutan. Di antara segelintir
orang-orang yang sangat menyeramkan menambah suasana asing bagi diriku
sendiri. Kegiatan berburu, bercocok
tanam, ataupun berternak seperti
terlihat memiliki keanehan di dalam nya. Tak seperti kegiatan
orang-orang pada umum nya. Dan segelintir orang yang aku temui memiliki wajah
seperti mayat dan berjalan dengan kaki telanjang dengan pandangan yang tajam.
Aku
semakin risih berada di dekat mereka, semakin ingin menerka-nerka kapan aku
dapat pergi dari mereka semua. Tapi penasaran tetap penasaran. Ketakutan bukan
lah suatu jalan yang baik untuk ku menutupi itu semua.
“
Bung, sekiranya kemanakah arah jalan yang akan membawa ku keluar dari kota
ini?” muncul keberanian untuk menanyakan perihal itu kepada seorang peternak
ular.
“Apa yang membawa mu datang ke kota ini?” tanyanya sinis
tanpa melihat mataku.
“Keinginanku.” Jawab ku
singkat.
“Jika itu keinginan mu,
maka itulah jawaban dari pertanyaanmu.”
“Ah..? bisa kau
jelaskan mengapa?”
“Tak dapat ku jelaskan
karena yang dapat menjelaskan hanya keberanian mu.” Lelaki itu tak dapat
melepas ular yang di belainya saat berbicara padaku.
“Kota ini?” Tanya ku
lagi.
“Ada apa? Kota ini
hanya kota biasa yang di kucilkan.”
“Bukan.. bukan.. maaf,
bukan itu yang ku maksud. Kota ini seperti….”
“Seperti sebuah dongeng
atau…”
“Misteri.”
Dia menengok ke arah ku
tanpa menaruh ular nya. Wajah nya seperti habis terbakar.
“Kau memiliki
keberanian untuk mengetahuinya?”
“Tentu.”
“Bukan hanya sekedar
rasa penasaran dan keingin tahuan mu akan kota ini?”
“Tidak.”
“Jika begitu, setelah
kau tahu apakah kau akan memberi tahu kepada orang-orang luar kota ini?”
“Tentu seluk beluk kota
ini adalah sebuah privasi. Bagaimana mungkin aku mempublikasikan sesuatu yang
merupakan privasi, apalah arti sebuah cerita….”
“Hentikan, kau boleh
mengikutiku. Ikuti detail setiap langkah ku. Jangan sesekali kau alihkan
pandangan mu dari sosok ku. Jika itu terjadi kau akan kehilangan sebuah cerita
yang sangat ingin kau ketahui. Dan kau tak akan dapat keluar dari kota ini.”
“Akan ku ikuti kau
bung.”
Lelaki itu melukiskan
sebuah senyuman di wajah na, meski aku ketahui keberatannya untuk melakukan
itu.
***
“Sebuah sumur?” tanyaku
ketika mengetahui satu langkah yang terhenti. Dan itu tepat di depan sumur
kering yang tak terawat dan … berlumut.
“Kenapa? Bukan kah ini
tujuan mu?”
“Tunggu sebentar.. aku
ingin cerita dari mu, bukan pertunjukan reality show seperti ini.” Ucapku agak
kesal.
“Disinilah asal dari
cerita itu.”
“Ah..?? sumur?”
“Lihatlah kearah sana.”
Katanya sambil menunjuk ke arah sebuah hutan mangrove.
“Ada sebuah gubuk.”
“Kau tahu gubuk apa
itu?”
Sedikit meloncat
perasaan ku ketika di tanyakan keberadaan gubuk itu.
“Ya… aku pernah
mendatangi gubuk itu dan…”
“Dan apa yang kau
lihat?”
“Kosong.”
“Benar.. Hampa..”
“Tapi ada suara seorang
kakek disana.”
“Itu adalah suara hutan
mangrove yang suaranya seperti seorang kakek-kakek.”
“Benarkah?” kaget
mendengar ucapan lelaki itu , aku pun tak percaya.
“Pohon itu diibaratkan
manusia dan dapat berbicara. Dan gubuk itu adalah sebuah gambaran.”
“Gambaran apa? Dapatkah
kau menjelaskan.”
“Yaa.. gambaran dari
orang-orang yang haus akan kekayaan. Lihatlah kami, tak memiliki rumah, bahkan
hanya untuk sekedar membaringkan badan pun tak ada.”
“Jadi..??” Tanya ku
penasaran.
“Kota Hampa.”
“Kenapa dinamakan kota
hampa? Bukan kah di sini ada yang menempati dan ada kehidupan? Bahkan ada
magnet yang mampu menarik ku kemari.”
“Tak seperti yang kau
ketahui. Tak seperti apa yang kau katakan. Perkataanmu hanya ilusinasi mu.”
“Maksud mu aku hanya
menghayal akan keberadaan kota ini?”
“Mungkin. Jika itu yang
kau rasakan, aku tak mampu menjelaskan.”
“Baiklah, keberanian ku
semakin mendalam. Apa lagi yang ingin kau beri tahukan kepada ku? Akan ku
dengarkan.”
“Tak ada.”
“Kau bilang banyak.”
“Aku tak pernah
mengatakan itu.”
“Lalu..??”
“Pulanglah. Dan jangan
beritahukan kepada siapa pun yang kau temui nanti.”
“Itu janji ku, pasti
akan aku tepati.”
“Kau sungguh berani.”
“Aku seorang
pengembara. Mencari tahu segala yang ku ketahui. Mencari arti dari setiap
tempat yang ku kunjungi.”
“Kau genius.”
“Setiap orang
mengatakan hal yang sama.”
“Kau begitu cekatan.”
“Itu lah aku.”
“Sudah lah, aku tak
sanggup berdebat dengan mu.”
“Karna kecerdikan ku?”
“Bukan, tapi karna
kebodohan dan ketololan mu.”
“Apa mungkin begitu?
Ah.. aku tak tahu, mungkin iya dan mungkin sebaliknya.”
“Ingin mengetahui hal lainnya?”
“Tentu aku akan
menjawab ya. Ini kesempatan ku untuk mengetahui semuanya.”
“Begitukah upaya mu?
Aku akan menerkam mu.” Katanya setengah berbisik.
“Kau bukan singa
pemakan daging bukan?”
“Tentu kau tahu.”
“Cepatlah.. aku ingin
tahu.” Kataku penasaran.
“Kau mengajak ku
berdebat.”
“Kau yang memulainya.”
“Baiklah.. lihat sumur
itu.”
“Hampa, kosong, tak ada
setetes air di dalam nya.”
“Itulah mengapa
dinamakan kota hampa.”
“Aku mengerti sekarang.
Karena kota ini tak memiliki sumber daya yang cukup, dan kota ini di asingkan.”
“Sekiranya.”
“Apa selanjutnya?”
“Melompatlah.”
“Kau gila? Kau ingin
membunuh ku? Apa di sana ada ular-ular mu?”
“Tentu tidak, tapi di
sana ada seorang malaikat yang akan membawa mu keluar dari kota hampa ini.”
“Tapi.. aku belum
puas.”
“Setalah kau keluar
dari kota ini kau akan mendapatkan kepuasan yang luar biasa.”
“Aku mungkin harus
mempercayai mu.”
“Tentu kau harus
melakukan itu.”
“Baiklah. Melompat?”
“Tidak perlu.”
“Kau cukup membuat ku
kesal.”
“Dan kau berhasil
membuatku terasingkan.”
“Aku akan melompat.”
“Tidak perlu. Kau cukup
berdiri di sini dan menunggu matahari tenggelam.”
“Apa yang akan
terjadi?”
“Kau akan pulang.”
“Lalu kau?”
“Aku akan pergi
sekarang.”
Tak lama setelah itu
dia menghilang, tenggelam di antara rerimbunan dedaunan. Hanya ada aku di sini,
sendiri menatap keatas langit sore, dan arloji ku menunjukkan waktu senja.
Teringat akan kata-kata ‘Kau akan
kembali saat matahari tenggelam’ , tapi apakah ini saatnya..??
***
Di antara kerumunan
orang aku tersadar dari tidur ku. Mengapa aku bisa berada di sini? Sebuah
kuburan yang bertuliskan nama-nama asing. Yaa.. di sinilah aku. Di tengah
kebingungan..
“Apa yang terjadi?”
Tanya lelaki tua yang mencoba ikut tenggelam dalam kerumunan orang.
“Pemuda ini tertidur
pulas di sini, sekitar 12 jam yang lalu.”
Kemudian muncul lelaki
tua itu yang tak asing lagi bagiku. Terbesit ingatan ku akan lelaki itu, yaa..
sumur.. dialah yang mengantar ku kemari..
“Kau? Mana ular-ular
mu?” tanyaku sambil sesekali mengucak-ngucak mataku.
“Aku tak mengerti.”
“Peternak ular?”
Kejadian itu adalah
suatu kejadian yang pertama dan terakhir bagiku. Mungkin sebuah bisikan atau
pun yang lainya. Tapi, kejadian itu memberi ku sebuah pengalaman besar, yang harus
nya tak ada menjadi ada, tak diceritakan namun mampu menjadi sebuah cerita yang
bercerita.